Rabu, 16 Juni 2010

Awal Mula Fast Food: Inspirasi untuk Berwiraswasta Produk Makanan Baru

Penyusun: Ratih

Pada tahun 2000, pengeluaran orang Amerika lebih banyak dihabiskan untuk fast food daripada untuk nonton bioskop, buku, majalah, surat kabar, video, dan musik rekaman (Schlosser. 2001). Mengapa hal ini terjadi? Bagaimana sejarah adanya fast food hingga orang Amerika begitu menggilai fast food dibandingkan aneka hiburan lainnya? Apakah kita sebagai bangsa Indonesia terinspirasi untuk memulai bisnis sendiri? Bagian awal buku tentang fast food ini, terutama bagian tentang sejarah para pionir fast food akan dipaparkan disini.

Carl N. Karcher sebagai salah seorang pebisnis yang mengawali usaha fast food terlahir pada tahun 1917. Ia mengawali kariernya sejak usia muda, 20 tahun, ia pindah dari Ohio ke Anaheim, California. Keputusan ini diambil saat pamannya, Ben Karcher menawarinya pekerjaan. Hal ini tidak mudah baginya dan keluarga. Anaheim saat itu dikelilingi peternakan dan pertanian., terletak di sebelah selatan California, merupakan area yang memproduksi jeruk dan lemon. Carl bekerja di toko pamannya sebanyak 36 jam/minggu untuk menjual barang-barang keperluan para petani.


Ia kemudian bertemu dengan Margaret Heinz dan keduanya mulai berkencan di tempat kediaman Margaret yang memiliki kebun jeruk seluas 10 acre. Margaret tinggal bersama kedua orang tuanya, 7 saudara laki-laki dan 7 orang saudara perempuannya. Carl kemudian bekerja di Armstrong Bakery, Los Angeles. Pernikahnnya dengan Margaret pada tahun 1939 membuahkan anak setahun kemudian. Pekerjaan sebagai pengantar roti ditekuni oleh Carl. Ia mengirimkan roti ke restoran-restoran dan pasar-pasar.


Jumlah penjualan roti saat itu cukup luar biasa. Sehingga ia tertarik memiliki bisnis roti sendiri. Ketika terdengar kabar ada gerobak hot dog dijual, ia kemudian membelinya dan memulai bisnis. Pekerjaannya di toko roti tidak ditinggalkannya. Ia menyewa 2 orang pemuda untuk menjaga kedai miliknya saat ia bekerja mengantar roti. Lima bulan kemudian, Amerika Serikat mulai terlibat dengan Perang Dunia ke-2, gerobaknya kemudian dijaga oleh Margaret.


Saat itu masyarakat California Selatan memiliki gaya hidup baru yang berpengaruh juga pada cara mereka makan. Pada tahun 1940, terdapat jutaan mobil digunakan oleh masyarakat Los Angeles, jumlah paling banyak daripada negara bagian yang lain. Sejak itu, mereka yang memiliki mobil begitu malas untuk beranjak hanya untuk makan siang. Demikian menurut Jessy G. Kirby pendiri drive in restaurant yang pertama.


Pada akhir tahun 1944, Carl memiliki 4 buah gerobak. Namun dia tidak meninggalkan pekerjaannya di toto roti Armstrong. Saat sebuah restaurant di seberang peternakan Heinz dijual, Carl memutuskan untuk membelinya, merenovasi dan selama seminggu ia mulai belajar memasak. Pada tanggal 16 Januari 1945 di ulang tahunnya yang ke- 28, Carl’s Drive In Barbeque mulai dibuka. Reatoran kecil ini dikelola oleh Carl dan istrinya. Carl yang memasak dan istrinya mengurusi soal keuangan. Setelah restoran tutup, Carl masih bekerja hingga larut malam untuk membersihkan kamar mandi dan mengepel lantai. Seminggu sekali ia membuat “saus special” untuk disajikan di restorannya.


Pada tahun 1940-1945 pemerintah Amerika mengeluarkan dana sebanyak 20 milyar dollar untuk pembangunan California dan sekitar Los Angeles. Pada akhir Perang Dunia ke-2, Los Angeles menjadi pusat produksi kedua di Amerika. Kesejahteraan di wilayah ini berpengaruh juga pada kehidupan Carl dan Margaret. Mereka mampu membeli rumah yang lebih besar berjarak 5 blok dari restoran mereka. Rumah yang cukup untuk menampung 12 anak mereka, terdiri dari 9 anak perempuan dan 3 anak laki-laki. Carl kemudian mendengar ada restoran yang menjual hamburger seharga 15 sen, 20 sen lebih murah daripada hamburger yang dijualnya. Ia melihat di Jalan E, San Bernardino banyak orang membeli McDonald’s Hamburger.


Demikian sejarah para pendiri fast food yang terdokumentasikan dalam buku yang ditulis oleh Schlosser ini, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan kehidupan masyarakat berpengaruh juga pada cara makan mereka. Cara kerja cepat dan kesejahteraan yang meningkat merupakan dua faktor penting yang menjadi pertimbangan adanya industri makanan fast food. Demikian juga terjadi di Indonesia. Jam istrirahat yang bersamaan di kantor-kantor yang menyebabkan para pekerja mengantri lama di tempat makan biasa. Berhubung kecepatan menjadi pertimbangan, maka orang-orang yang diburu waktu memilih fast food sebagai makan siang mereka.


Namun, saat ini nampaknya fast food bukan lagi sekedar makanan yang dianggap sebagai makanan cepat saja. Tapi juga merupakan makanan pemberi gengsi dan makna pada liburan kita. Pernahkah kita perhatikan di akhir minggu, keluarga berkumpul di restoran cepat saji? Restoran cepat saji menjadi tujuan rekreasi yang cukup bergengsi. Tentunya hal ini disebabkan harga yang mahal dianggap prestisius bagi kita. Promo-promo restoran cepat saji ini membidik anak-anak kecil dan anak muda yang masih senang koleksi souvenir atau sekedar nongkrong di restoran cepat saji ini.


Masalahnya, kita melihat masih sedikit orang yang terinspirasi untuk berwiraswasta jenis makanan yang sama sekali baru seperti para pionir fast food ini. Kebanyakan masih berupa warung-warung makan nasi rames yang menyediakan menu sehari-hari. Namun kita bisa bersikap optimis suatu saat akan ada gebrakan yang dilakukan orang Indonesia yang memulai bisnis makanan. Kota-kota besar sudah memperlihatkan adanya antusiasme masyarakat untuk berbisnis makanan, mengingat banyaknya kedai makan, café atau restoran di pinggir jalan kota dan di dalam mall.


Daftar Pustaka:

Schlosser, Eric. 2001. Fast food nation: The Dark Side of the all-American Meal. New York: Houghton Mifflin Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar