By: Ratih
Pilihan soal makanan yang direbus atau dipanggang  sebenarnya sepele bagi kita. Kita pilih soto dengan potongan daging  kecil yang direbus karena kita ingin makan siang dengan menu ini. Lalu  kita pilih steak untuk makan malam karena kita terbayang rasa lezat  daging has dalam nan empuk yang disajikan dengan saus lada hitam,  misalnya.  Chinese food atau western food tak masalah. Berbeda dengan  masyarakat di ujung sana, di negeri antah berantah pada masa lalu atau  masa kini. Pilihan soal makanan yang direbus atau dipanggang menjadi  penting karena berkaitan dengan konsep hidup mereka. Soal gengsi dan  tabu.
Linguistik mengenal konsep konsonan dan vokal. Konsep ini  dikenal pula dalam dunia kuliner. Konsonan bisa diartikan sebagai  sesuatu yang tertutup sedangkan vokal berarti terbuka. Segala hal yang  berhubungan dengan tata cara masak yang sekiranya tabu, tidak akan  dilakukan. Misalnya saja, pilihan antara membakar dan merebus pada suku  asli di New Caledonia berkaitan dengan hubungan mereka antara alam dan  teknologi. Penggunaan panci dan alat panggang merupakan sebuah gengsi  tersendiri. Sebuah bukti peradaban. Teks dari Aristoteles yang ditemukan  oleh Salomon Reinach mengindikasikan bahwa orang Yunani dahulu kala  selalu memanggang makanan. Suku Poconachi di Meksiko panggang makanan  hanya setengah matang karena setengah matang berarti berada di  tengah-tengah dunia.
Makanan yang direbus merupakan “endo-cuisine”  disediakan untuk kepentingan domestik, kelompok kecil, sedangkan makanan  yang dipanggang ialah “exo-cuisine” yang disajikan untuk para tamu. Di  Perancis, ayam rebus untuk keluarga sedangkan daging panggang untuk  perjamuan tamu.
Pada Suku Guayaki di Paraguay, mereka panggang semua  makanan, kecuali saat sebuah ritus kelahiran anak, daging harus direbus.  Sedangkan suku Caingang di Brazil melarang daging rebus untuk para  janda dan duda atau siapapun yang sudah membunuh musuhnya (Strauss.  1997).
Waduh, serem juga ya Suku Caingang..melibatkan soal bunuh  membunuh segala dengan makanan. Pastinya kita disini tidak berhubungan  dengan gengsi atau tabu dalam memilih makanan, kecuali tempat makan mana  yang kamu pilih. Soal jenis makanan tergantung selera. Beruntunglah  kita tidak memiliki aturan baku seperti di masyarakat lainnya yang telah  disebutkan tadi. Mau makan apapun tak terkait dengan norma. Jadi  nikmati makanan yang jadi pilihan kamu, tentunya dengan pertimbangan  rasa, harga dan suasana restoran yang akan didatangi.
Daftar  Pustaka:
Levi- Strauss, Claude. 1997. “The Culinary Triangle”  dalam Food and Culture. Carole Counihan and Penny van Esterik (Editor).  Oxon: Routledge.
Lihat juga: minuman
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar